KATANYA INGIN MENINGKATKAN RASA NASIONALISME, SIARAN ASING BEBAS BERKELIARAN KOK DIBIARKAN ?...





Sejak dulu, bahkan sebelum mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD), yang namanya siaran televisi Malaysia selalu menjadi konsumsi saya dan keluarga saya tiap hari, baik diwaktu, pagi hari, siang hari maupun malam hari. Tak hanya sekedar untuk hiburan, tapi juga sebagai media untuk kami mengetahui perkembangan dan informasi-informasi tentang dunia luar.

Saat itu, memang sudah ada siaran televisi nasional milik pemerintah, yakni TVRI.  Namun keluarga kami lebih senang menonton siaran televise Malaysia, sebab selain konten siaran yang menarik dengan tayangan-tayangan bernuansa kearifan lokal yang kental, konten-konten yang disajikannya juga mendidik. “Usop Santorian dan Keluang Man” dua diantara dari sekian banyak acara televisi yang paling sering saya tonton dimasa itu dan masih sangat membekas diingatan saya.  Beda halnya dengan siaran dari TVRI yang cendrung kaku, dan konten siarannya juga sedikit serta kurang menarik. Kadang ada satu program acara ditayang 2-3 kali dalam rentang waktu 2 hari. sehinggga siaran nasional kurang diminati.

Selain siaran televisi Malaysia, di tempat kediaman saya, yang berada di Desa Pangkalan Kongsi, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan barat, kami juga sudah terbiasa dengan siaran-siaran radio dari Malaysia. Alhasil, dengan seringnya konsumsi terhadap siaran dari Negara jiran yakni Malaysia dibanding dengan siaran nasional, bahasa nasional Malaysia sudah menjadi hal yang tak asing lagi dibanding dengan bahasa Indonesia, akan menjadi tampak aneh bila mendengar orang berbicara bahasa Indonesia dibanding dengan mendengar orang berbicara menggunakan bahasa Malaysia.

Sampai pada pertengahan tahun 2004, yakni diamana saat itu, orang-orang di desa kami mulai mengenal yang namanya parabola, barulah orang-orang mulai beralih totntonannya. Alasannya dengan adanya parabola, banyak pilihan konten siaran, kita bisa menikmati puluhan bahkan ratusan siaran baik siaran nasional maupun manca Negara. Mulai dari hanya sekedar untuk hiburan, sampai siaran yang bermuatan pendidikan politik. Dari siaran untuk anak-anak, hingga konten siaran dewasa dan disaat itu jugalah peran orang tua sangat diperlukan terutama dalam memastikan isi siaran yang ditontonnya, apakah telah sesuai atau layak untuk seumuran mereka tersebut.

Terlepas dari semua itu, walaupun saat ini sudah memasuki era digital. Tetap saja siaran Malaysia, baik televisi maupun siaran radionya tetap saja punya penikmatnya sendiri. Salah satunya abang sepupu saya, walaupun sudah punya parabolla, dia lebih sering menikmati siaran-siaran televisi Malaysia, ketimbang siaran-siaran televisi nasional (Indonesia). Alasannya cukup sederhana, ia mengatakan siaran yang disajikan dari televisi Malaysia lebih mendidik dan nuansanya sesuai dengan masyarakat lokal yang kental akan sopan santunnya. Berbanding terbalik dengan konten siaran yang ada di Indonesia, lebih banyak menampilkan nuansa kekerasan dan pornografi. Walaupun kita semua tahu bahwa TVRI adalah satu-satunya milik Negara yang menyajikan siaran-siaran bermuatan lokal, berusaha melalui program acaranya menanamkan rasa nasionalisme. Mereka secara perlahan mulai berbenah, berinovasi untuk menyajikan siaran-siaran yang berkualitas dan layak untuk nikmati oleh semua kalangan. Tapi disisi lain tak mampu membendung lajunya perkembangan dan kemajuan televisi milik swasta. Selain konten siaran yang berpariasi, banyak pilihan, juga mampu menghipnotis para penontonnya untuk rela berjam-jam duduk didepan televisi hanya untuk sekedar menonton acara yang disajikan.

Lantas, muncul pertanyaan bagaimana pemerintah yang memunyai wewenang untuk itu menyikapi hal tersebut ?. Dalam Siaran Pers No. 218/PIH/KOMINFO/11/2009 yaitu dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Yang Pertama Antara Menteri Kominfo Tifatul Sembiring Dengan Pimpinan Dan Seluruh Anggota Komisi I DPR-RI. Dalam kesempatan tersebut, Menteri Kominfo menyampaikan jawaban tertulis secara lengkap atas kesimpulan Komisi I DPR-RI dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Menteri Kominfo pada tanggal 7 September 2009 dan sejumlah pertanyaan tertulis. Berikut ini beberapa jawaban Menteri Kominfo atas beberapa pertanyaan:
  1. Pertanyaan : Bagaimana operasionalisasi konsep Pancasila sebagai Ideologi Negara oleh Menkominfo dalam memperkuat identitas dan kepribadian serta budaya bangsa melalui pemanfaatan arus informasi melalui media komunikasi dalam rangka memperkuat keutuhan dan kedaulatan bangsa. Jawaban Menteri Kominfo: a. BIP akan lebih banyak menangani isu lintas /sektor (Cross Cutting Issue) yaitu isu yang muncul karena kebijakan lintas sektor, antara lain pengentasan Kemiskinan, NCB (Nation Character Building), Nation Branding, Demokratisasi, Pemerataan Pembangunan pada wilayah prioritas yaitu daerah perbatasan, daerah kantong kemiskinan, slum area di perkotaan, daerah terluar dan daerah yang berpotensi konflik tinggi, yang sulit dijangkau oleh media swasta. b. Di samping itu, kemasan konten yang dibuat diarahkan untuk lebih mendidik (educative), mencerahkan (enlightment), dan memberdayakan (empowering) masyarakat "dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia".
  2. Pertanyaan: Miskinnya komunikasi dan informasi di wilayah perbatasan yang menjadi benteng dalam menjaga keutuhan NKRI dapat menimbulkan menurunnya rasa nasionalisme masyarakat. Bagaimana program Depkominfo untuk meningkatkan sarana dan prasarana informasi dan telekomunikasi di daerah perbatasan agar masyarakat di daerah perbatasan well-informed dengan masalah bangsa, sehingga diharapkan dapat meningkatkan wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara. Jawaban Menteri Kominfo: a. Penguatan jangkauan dan peningkatan kualitas penerimaan siaran TVRI di 30 lokasi / proyek Improvement on Television Transmitting Stations (ITTS), soft loan Spanyol. b. Penguatan jangkauan dan peningkatan kualitas penerimaan siaran LPP RRI di Toli-Toli dan Tarakan melalui hibah dari pemerintah Jepang. c. Memberikan bantuan pesawat penerima televisi beserta antena parabola dan decoder TV berlangganan bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Berlangganan TV sebagai bentuk SCR. d. Membantu Lembaga Penyiaran Komunitas di daerah perbatasan berupa perangkat pemancar dan peralatan studio. dan e. Memberikan bantuan perangkat ICT yang dikenal dengan Community Access Point yang ditempatkan di lembaga sosial.[1]
Menanggapi hal tersebut diatas, hal yang perlu kita ingat yang ada hubungannya dengan pernyataan diatas adalah terkait dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Bila ditarik benang merahnya atara cerita saya diawal tulisan ini, dengan pernyataan dari Menteri Kominfo dan UU Penyiaran, setelah saya baca dan pelajari lebih khusus pada UU Penyiaran, tak ada satu pasal pun yang mengatur terkait permasalahan siaran luar (Malaysia) baik itu televisi maupun radio yang lintas batas Negara, padahal berdasarkan cerita diawal tulisan saya, secara tak langsung saya dan keluarga saya, bahkan orang-orang yang di kampong saya, serta orang-orang yang masih bisa menjangkau siaran Televisi dan Radio Malaysia, bisa dikatakan sedikit banyak sudah terpengaruh oleh budaya dan bahasa Malaysia. Bagaimana tidak, ditahun-tahun sebelum populernya parabola, hampir semua masyarakat yang memunyai televise maupun radio mengkonsumsi siaran-siaran dari Malaysia. Hal ini juga di dukung oleh sangat minimnya lembaga penyiaran lokal, adapun hanya TVRI Kalbar dan TVRI Nasional, serta beberapa radio lokal, yang tak lebih dari 5 radio lokal saat itu.
Memasuki tahun 2010, barulah radio-radio lokal (komunitas dan swasta) mulai tumbuh dan berkembang, dan mencoba menyesuaikan dengan kondisi masyarakat, kemudian meramunya untuk menjadi siaran yang menarik, sekaligus mendidik melalui program-program siarannya.
Tapi patut disadari bahwa yang namanya radio komunitas itu memunyai sumber pendanaan dari komunitas itu sendiri, yang artinya mereka bergantung pada maryarakat komunitasnya. Sehingga jatuh bangunnya radio komunitas menjadi hal yang biasa terjadi. Dengan kemampuan seadanya, dana juga seadanya wajar saja hal demikian terjadi. Hal yang dialami radio swasta juga serupa, walaupun sumber dananya lebih besar, kalau tak didukung dengan kemapuan para pengelolanya yang mumpuni dengan begitu banyaknya persaingan, lama-lama juga akan tenggelam dan tersingkir dengan sendirinya.
Melihat realita tersebut, disinilah sebenarnya peran pemerintah (baik, kabupaten, provinsi maupun pusat) untuk memikirkan dan mencari jalan keluar untuk itu. Solusinya jangan sampai hanya untuk mengatasi permasalah sesaat, tapi harus benar-benar direkonstruksi sematang-matangnya, yang tentunya juga harus melibatkan masyarakat secara langsung maupun tak langsung, karena mereka bukan hanya objek melainkan juga subjek yang menentukan berhasil tindaknya upaya dalam meningkatkan dan menanamkan jiwa nasionalisme. Sehingga perpecahan dapat dihindari, karena masyarakat yang kompak, bersatu-padu, kokoh dan satu suara, yakni menjadi bangsa Indonesia menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang kesemuanya itu tertuang dalam sila-sila pancasila dan pembukaan UUD 1945.

 

 






[1] http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_1027.htm (diakses pada tanggal 27 september 2016)

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "KATANYA INGIN MENINGKATKAN RASA NASIONALISME, SIARAN ASING BEBAS BERKELIARAN KOK DIBIARKAN ?..."

  1. kadang saya juga merasa heran dengan kebijakan pemerintah yang banyak yang ketidak jelasan akan adanya peraturan dan kenyataan yang ada, good lah gan artikelnya

    ReplyDelete

Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^