Belakangan
di media-media massa, baik elektronik, cetak maupun online banyak saya, anda,
kita semua lihat, dengar dan saksikan, kasus-kasus terkait pertanahan. Mulai dari
kasus tumpang tindih lahan, seperti sertifikat ganda, alih fungsi lahan jadi
perkebunan, sampai pada kasus bentrok atara warga dengan perusahaan, antara
warga dengan pemerintah kabupaten, dan banyak lagi kasus lain terkait dengan
pertanahan.
Bila kita
cermati, kasus paling banyak adalah, yang terkait dengan tumpang tindih lahan,
sertifikat ganda dan alih fungsi hutan dan lahan. Tapi dalam tulisan ini saya
tidak akan membahas itu, tapi hal yang paling mendasar terkait tanah ini.
Pernahkah
anda anda mendengar, membaca yang berhubungan dengan istilah “Konversi Hak Atas
Tanah”. Kalau anda membuka situs resmi seperti BPN, disana anda akan menemukan
istilah tersebut. Selanjutnya, muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan “Konversi”
tersebut ?.
Melalui tulisan
ini saya akan mencoba memaparkan apa itu Konversi tersebut. Pemaparan berikut
ini saya rangkum dari berbagai sumber yang ada diinternet dan literatur lainnya.
Tentunya dalam hal ini saya juga tidak akan sembarangan dalam menggali sumber
informasi tersebut.
Baiklah,
langsung saja kita pada perihal atau masalah yang akan dibahas dalam tulisan
ini. Pertama, dalam tulisan ini saya akan memaparkan apa itu “Konversi”, selanjutnya
akan dijabarkan pula bagaimana Konversi hak atas tanah.
Sebelum kita
menjelaskan lebih jauh terkait dengan Konversi hak atas tanah, patut kiranya
kita untuk mengetahui apa itu istilah “Konversi”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah “Konversi” diartikan sebagai:
1 perubahan dari satu sistem pengetahuan ke
sistem yang lain; 2 perubahan pemilikan atas suatu benda, tanah, dan
sebagainya; 3 perubahan dari satu bentuk (rupa, dan sebagainya) ke
bentuk (rupa, dan sebagainya) yang lain. Jadi dari pengertian tersebut,
bila kita kaitkan dengan sebagaimana dalam pembahasan ini, Konversi adalah
perubahan suatu bentuk rupa benda, kebentuk rupa benda lainnya dan atau
perubahan kepemilikan atas suatu benda.
Kata “Konversi”
dalam bahasa latin yaitu “Convertera” yang artinya membalikkan atau mengubah
nama dengan pemberian nama baru atau sifat baru sehingga memunyai isi dan makna
yang baru. Sementara dalam hukum agraria pengertian konversi adalah perubahan
hak lama atas tanah menjadi hak baru. Maksudnya, hak-hak lama ialah hak-hak
atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dan yang dimaksud
dengan hak-hak baru memuat UUPA yaitu hak-hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam UUPA tersebut, khususnya pasal 16 ayat 1 poin c dan q,
diantaranya, Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.
Pakar hukum agrarian
yakni, Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama mengartikan Konversi sebagai pengalihan,
perubahan (omzetting) dari suatu hak tertentu kepada suatu hak lain.[1] Kemudian
menurut Dr. A.P. Parlindungan., SH bahwa konversi secara umum dapat dikatakan
penyesuaian atau perubahan dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama
disesuaikan dengan hak-hak baru. [2]
Dari beberapa
pengertian diatas, penulis menarik kesimpulan kemudian mencoba mengartikannya
bahwa yang dimaksud dengan konversi adalah suatu perubahan dari hak-hak dari
suatu benda yang diatur oleh sistem atau peraturan lama yang di sesuaikan
dengan sistem atau peraturan yang baru
yang berlaku.
Lalu,
bagaimana dengan konversi hak atas tanah?. Patut kita tekankan bahwa, setelah
mengetahui pengertian konversi diatas, dan sebelum membahas lebih jauh apa itu
konversi hak atas tanah, perlu kita ketahui bahwa konversi hak atas tanah
berbeda dengan peralihan hak atas tanah, sebab konversi hak atas tanah berkaitan
dengan jenis-jenis hak atas tanah yang ada sebelum dan sesudah berlakunya UUPA
No. 5 Th 1960. Sedangkan peralihan hak atas tanah ialah berbicara mengenai
proses, tata cara atau prosedur beralihnya hak atas tanah dari satu pihak ke
pihak yang lain.
Lantas, apa yang dimaksud dengan
konversi hak atas tanah?. Konversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang
pernah tunduk kepada sistem hukum lama, yaitu: hak-hak tanah menurut kitab
undang-undang Hukum Perdata Barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat,
untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA.[3]
Artinya, dari pengertian diatas dapat
dikatakan bahwa konversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak atas tanah dari sistem
lama yaitu yang diatur dalam KUH Perdata Barat dan hukum adat ke sistem baru
sebagaimana yang diatur dalam UUPA.
Patut diketahui bahwa, sebelum
berlakunya UUPA No. 5 Th 1960, di Indonesia terjadi dualisme hukum agraria,
yaitu disamping berlakunya peraturan yang berasal dari Hukum Agraria Adat
berlaku pula Hukum Agraria yang berdasarkan Hukum perdata barat sehingga terdapat tanah-tanah dengan hak-hak Barat dan
tanah-tanah dengan hak-hak adat Indonesia.
Sehingga, sejak diberlakukannya UUPA
No. 5 Th 1960, yaitu sejak di undang-undangkannya UUPA ini pada tanggal 24
september 1960, maka hak-hak yang berlaku atas tanah adalah sebagaimana hak-hak
atas tanah yang terdapat dalam UUPA ini, yaitu sebagaimana yang ditentukan
dalam pasal 16, yakni dikhususkan pada hak-hak atas tanah primair, yakni hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
Konversi hak-hak atas tanah tak terlepas dari
tujuan pokok diberlakukannya UUPA, yaitu unifikasi dan kesederhanaan hukum
nasional yakni dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat. Konversi hak atas tanah lebih khusus
dimaksudkan agar kelak dikemudian hari tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk
Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUHPer dan hak atas
tanah yang tunduk pada hukum adat.
Dasar Hukum pelaksanaan konversi hak
atas tanah terdapat pada bagian kedua UUPA, yaitu tentang ketentuan-ketentuan
konversi yang terdapat dalam pasal 1 sampai dengan pasal 8, yang secara garis
besar konvensi hak atas tanah dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
- Konvensi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat, seperti: hak eigendom, hak postal, hak erfpacht, hak gebruik dan hak bruikleen.
- Konvensi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia, seperti: hak erfpacht yang altijddured, hak agrarische eigendom dan hak gogolan.
- Konvensi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja, seperti: hak hanggaduh, hak grant dan hak konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar.[4]
Dari berbagai
jenis hak atas tanah tersebut, kemudian dikonversikan menjadi hak atas tanah
sebagaimana yang diatur dalam pasal 16 UUPA, yakni hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai.
Kemudian untuk
memudahkan pengaplikasiannya dari UUPA tersebut, dibuatlah aturan pelaksananya.
Untuk memperjelas hal itu, akan dibagi kedalam dua bagian, yakni ketentuan
konvensi bagi tanah yang tunduk pada KUHPer dan ketentuan konvensi untuk tanah
yang tunduk pada hukum agraria adat.
- Ketentuan konversi bagi tanah yang tunduk pada KUH Perdata, diatur dalam pasal I, III, IV, V, UUPA. Mengenai ketentuan pelaksanaannya dituangkan kedalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Peraturan Menteri
Agraria No.2 tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan UUPA;
b. Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 2 tahun 1970 tentang penyelesaian konversi hak-hak barat
menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha;
c. Keppres No. 32
tahun 1979 tentang pokok-pokok kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru
atas tanah asal konversi hak-hak barat;
d. Peraturan Menteri
Dalam Negeri No.3 tahun 1979 tentang ketentuan-ketentuan mengenai permohonan
dan pemberian hak atas tanah asal konversi hak barat.
- Ketentuan konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II, VI dan VII, mengenai ketentuan pelaksanaannya dituangkan kedalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
a.
Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960
tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak Indonesia atas tanah;
b.
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2
tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia
atas tanah;
c.
Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 /
DDA / 1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-hak Indonesia
atas tanah.
Kemudian dari panjang lebar pemaparan
diatas, muncul pertanyaan bahwa, seandainya dikemudian hari masih terdapat
tanah yang belum dikonversikan, sebagaimana yang diatur dalam UUPA, yang mana
setelah berlakunya UUPA seharusnya tanah tersebut tak ada lagi.
Untuk menjawab hal tersebut, coba
kita lihat dalam pasal 24 ayat (1) PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
menyatakan bahwa:
Untuk keperluan pendaftaran hak, hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat
bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan
saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh
Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala
Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.
Nah, dari
ketentuan tersebut jelaslah kiranya bahwa, jika memang masih terdapat tanah
yang belum dikonversikan, masih bisa dimungkinkan untuk didaftarkan atau di
konversikan hak atas tanah tersebut sehingga statusnya berubah sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 16 UUPA, yaitu menjadi hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan maupun hak pakai.
Untuk itu,
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menetapkan syarat-syarat bagi tanah yang ingin
diubah statusnya dan disesuaikan dengan sebagaimana diatur dalam UUPA pasal 16.
Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
- Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup
- Surat Kuasa apabila dikuasakan
- Fotocopy identitas (KTP, KK) pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket
- Bukti pemilikan tanah/alas hak milik adat/bekas milik adat
- Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan penyerahan bukti SSB (BPHTB)
- Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan
Waktu:
98 (sembilan puluh delapan) hari
Keterangan:
Formulir permohonan memuat:
- Identitas diri
- Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon
- Pernyataan tanah tidak sengketa
- Pernyataan tanah dikuasai secara fisik.[5]
Demikianlah penjelasan singkat yang
berhubungan dengan konversi hak atas tanah, semoga informasi yang disampaikan
ini bisa bermanfaat.
[1]
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Masalah
Agraria, (Bandung: Alumni, 1973), hal. 31
[2]
Dr. A.P. Parlindungan, SH., Pedoman
Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara PPAT, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 49
[4]
http://www.jurnalhukum.com/konversi-hak-atas-tanah/
[5]
http://site.bpn.go.id/o/Beranda/Layanan-Pertanahan/PELAYANAN-PENDAFTARAN-TANAH-PERTAMA-KALI/KONVERSI,-PENGAKUAN-DAN-PENEGASAN-HAK/KONVERSI.aspx
Mau tanya nih...ada yg bisa ngurusin hak tanah jalan gak ya?
ReplyDeleteSoalnya di kampung saya tanah buat bikin jalan mobil/motor di bngun rumah..bahkan ada yg nerusin dapurnya ke tanah jalan.
Sehingga tanah buat jalan sekarang tidak ada.
Dan saat ini kampung yg rumahnya agak ketengah hampir tidak ada jalan ke luar jalan raya...hanya motor saja yg bisa masuk lewat gang2 rumah. Kalo musim hujan becek dan berlumpur.
Mohon pencerahannya juga.
terimakasih infonya gan
ReplyDeletethx gan, kebetulan ane mahasiswa hukum. jadi bisa sedikit ngebantu buat tugas hukum pdt
ReplyDelete