Jauh sebelum
Indonesia merdeka, yaitu ketika Indonesia belum menjadi Negara Indonesia, atau lebih
tepatnya ketika zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, keberadaan desa sudah ada
sejah beratus-ratus tahun yang silam, bahkan ribuan tahun yang lalu. Tak banyak
informasi-informasi tertulis mengenai keberadaannya. Dalam cerita rakyat yang
di sampaikan melalui lisan, kita banyak memperoleh informasi mengenai
keberadaan desa ini. Dari cerita-cerita tersebut pulalah kita bisa membayangkan
bagaimana kehidupan masayarakat desa pada masa itu.
Seorang ahli
purbakala bangsa belanda menemukan prasasti yang diperkirakan ditulis pada
pertengahan abad ke-14 atau kurang lebih tahun 1350. Prasasti tersebut
mengimpormasikan adanya desa. Bayusurianingrat (1992: 14-18) menjelaskan bahwa
pada tahun 1939, A. Gall mengirimkan prasasti Himad Waladit ke Dinas Purbakala
Jakarta. Prasasti tersebut mengimformasikan adanya Desa Walandit dan Desa
Himad. Kedua desa tersebut Bersengketa soal status Desa Walandit. Para pejabat
Desa Walandit menegaskan bahwa Desa Walandit adalah desa atau wilayah perdikan
dibawah wilayahnya. Perselisihan ini kemudian dibawa kesidang pengadilan
kerajaan Janggala-Kediri. Dengan mengajukan bukti berupa sekeping prasasti
sindok, pihak Walandit memenangkan perkara. Walandit dinyatakan sebagai desa
swatantra atau otonom dan semua pejabat kerajaan Jenggala-Kediri diminta
menghormati hak-haknya.[1]
Dari prasasti
tersebut membuktikan bahwa pada abad ke-14 di Indonesia sudah terdapat desa
dengan status Swatantra, otonom. Tentang hirarkinya, berdasarkan kasus sengketa
antara Desa Himad dan Desa Walandit tersebut tampaknya susunan pemerintahan
desa pada waktu itu langsung dibawah kerajaan/pusat. Tidak ada daerah atau
wilayah semacam kabupaten atau provinsi diatas desa. Hal itu tampak melalui
penanganan langsung oleh pejabat kerajaan ketika kedua desa tersebut
bersengketa.[2]
Terkait praktik
penyelenggaraan pemerintahan desa bisa dilihat dalam pemerintahan desa di
Demak, Jawa Tengah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, desa dipimpin oleh
Kepala Desa yang dipilih oleh semua penduduk desa dewasa. Akan tetapi, pada
zaman dahulu pemilih dibatasi pada kepala keluarga yang sudah mempunyai hak
garap sawah komunal/norowito. Sedangkan, kepala keluarga dari kalangan buruh
tani dan orang-orang yang mondok (tidak mempunyai tanah yasan/sendiri dan
numpang dipekarangan orang lain). Tidak mempunyai hak pilih. Kepada Desa
dibantu oleh pamong desa atau sarekat desa yang terdiri atas: Carik atau Sekretaris
Desa, Kamitua, Bekel, Bayan, Ulu-ulu, dan Modin. Carik adalah pejabat yang
mengurus administrasi atau tata usaha desa; kamitua adalah sesepuh desa dari
kalangan kepala dukuh yang paling senior; bekel adalah kepala dukuh, suatu
bagian wilayah dari desa; bayan adalah petugas pengantar surat atau petugas
yang memberi informasi kepada penduduk tentang hal-hal yang berkaitan dengan
kebijakan pemerintah seperti masalah pajak, upacara, undangan dikelurahan, dan
kegiatan-kegiatan lain yang diselenggarakan pemerintah desa atau pemerintah
atasnya. Ulu-ulu adalah pejabat yang bertugas mengurusi pengairan desa; dan
modil adalah petugas yang mengurusi bidang keagamaan termasuk kelahiran,
khitanan, nikah, talak, rujuk, dan kematian.
Kepala Desa dalam
menjalankan tugasnya didampingi Dewan Sesepuh Desa yang terdiri atas Kepala
Desa, Kamitua, Kyai Desa, Mantan Kepala Desa, dan tokoh-tokoh desa yang
berpengaruh. Pemerintah desa mengatur dan mengurus tanah komunal yang terdiri
atas tiga fungsi: 1) tanah bengkok yang diperuntukkan bagi kepala desa dan
perangkat desa; 2) tanah norowito yang diperuntukkan bagi warga desa; dan 3)
tanah bandadesa yang diperuntukkan untuk biaya pemerintahan dan pembangunan
desa. Pemerintah desa juga mengatur dan mengurus pengairan desa dibawah
koordinasi ulu-ulu. Selanjutnya, pemerintah desa mengatur dan mengurus lumbung
desa, lembaga simpan, pinjam padi. Pemerintah mengurus sekolah desa selain itu
pemerintah juga mengatur dan mengurus pasar desa bagi yang mempunyai pasar
desa, serta mengurus kesehatan warga terutama pencengahan terhadap penyakit
bersama menteri kesehatan.[3]
Memasuki zaman
Hindia Belanda yaitu pada akhir abad ke-15 bangsa Indonesia adalah bangsa yang
merdeka. Sebagai bangsa merdeka, bangsa Indonesia menjadi tuan dirumahnya
sendiri. Oleh karena itu, bangsa indonesa hidup aman, tentram dan makmur
dibawah kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh bangsa Indonesia sendiri. Namun ketentraman
dan kemakmuran bangsa Indonesia mulai terusik ketika bangsa eropa mulai
berdatangan ke Nusantara. Bangsa eropa mula-mula datang hendak berdagang tapi
kemudian bernafsu menjajah. Pada tahun 1511 Malaka dikuasai oleh Portugis.
Dalam waktu yang sama, bangsa Spanyol tiba di Maluku. Kemudian pada
akhir abad ke-16 bangsa Belanda tiba di Banten, terus ke Maluku.
Semenjak itulah,
Belanda dengan armada kapalnya yang bernama VOC menundukan kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Pada abad ke-16-17, kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu
menyerahkan kekuasaan politiknya pada VOC. Pada 1854, berdasarkan konstitusi
kerajaan Belanda di Hindia Belanda di berlakukan semacam UUD Hindia Belanda
yang disebut dengan Indische
Staatsregeling (IS).[4]
Dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) menegaskan
tentang kedudukan Desa, yakni: Pertama,
bahwa Desa yang dalam peraturan itu disebut “inlandsche
gemeenten” atas pengesahan kepala daerah (residen), berhak untuk memilih
kepalanya dan pemerintah Desanya sendiri. Kedua, bahwa kepala Desa itu diserahkan hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh gubernur jenderal atau dari kepala daerah (residen). Gubernur
Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya.[5]
Subtansi dalam ordonansi itu juga ditentukan
keadaan dimana Kepala Desa dan anggota pemerintah Desa diangkat oleh penguasa
yang ditunjuk untuk itu. Kepala Desa
bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal,
pemerintah wilayah dan residen atau Pemerintah otonom yang ditunjuk dengan
ordonansi. Selain itu, dalam ordonansi
diatur wewenang dari Desa Bumiputera untuk: (a) memungut pajak di bawah
pengawasan tertentu; (b) di dalam batas-batas tertentu menetapkan hukuman
terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh Desa (Suhartono, 2001:
46-47).
Pengaturan lebih
lanjut dalam Inslansche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten IGOB L.N. 1938 No.
490 yang berlaku sejak 1 januari 1939 L.N. 1938 No. 681, nama dan jenis
persekutuan masyarakat asli ini adalah persekutuan bumi putra. Persekutuan
masyarakat di Jawa dan Bali disebut desa. Sedangkan dibekas Keresidenan
Palembang disebut Marga dan bekas Keresidenan Bangka Belitung disebut Haminte. [6]
Memasuki pada zaman pemerintahan Jepang,
pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada
tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa)
diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan
tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa
jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985:
189-190).
Kemudian
menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada jaman penjajahan Jepang Desa
ditempatkan di atas aza (kampung,
dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada pendudukan Jepang
ini, Otonomi Desa kembali dibatasi bahkan Desa dibawah pengaturan dan
pengendalian yang sangat ketat. Rakyat Desa dimobilisasi untuk keperluan
perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. Kepala Desa
difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki
Jepang, seperti jarak, padi dan tebu.
Pemerintah Desa pada jaman pendudukan Jepang
terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah, Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi
Desa dan Amir (mengerjakan urusan agama).[7]
Dimasa awal
kemerdekaan, dalam sidang PPKI M. Yamin menyampaikan pokok-pokok pikiran
tentang susunan Negara yaitu sebagai berikut:
- Negeri, Desa, dan segala persekutuan hukum adat yang dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaruan zaman, dijadikan kaki susunan Negara sebagai bagian bawah;
- Pemerintah pusat dibentuk disekeliling kepala Negara, terbagi atas wakil kepala Negara, satu kementrian sekeliling seorang pemimpin kementrian dan pusat parlemen balai perwakilan, yang terbagi atas Majelis dan balai Perwakilan Rakyat;
- Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah berupa pemerintah daerah untuk menjalankan pemerintah urusan dalam, Pengreh Praja.
Kemudian dalam
forum yang sama, M. Yamin memperjelas konsepsinya. Ia membagi susunan
pemerintah menjadi tiga: Pertama, pemerintah
bawahan yang berupa desa atau yang setingkat dengan desa yang mempunyai hak
mengatur rumah tangga sendiri. Kedua, pemerintah
atasan yang terbentuk dikota ibu Negara, Republik Indonsia. Ketiga, antara pemerintah atasan dan bawahan
adalah pemerintah daerah, yang disebut dengan Pemerintahan Tengahan
(Sekretariat Negara; 1995: 179) selanjutnya, pada pembahasan Undang-Undang
Dasar 15 Juli 1945 telah disepakati bentuk Negara Kesatuan dan pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil (Sekretariat Negara; 1995: 270).
Dalam ulasan ini,
status desa berada dalam pemerintahan daerah. Kemudian peoses penyusunan
pemerintah daerah harus memandang dan mengamati dasar permusyawaratan dan hak
asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Hak asal usul dalam
daerah yang bersifat istimewa harus diperingati (diperhatikan). Daerah-daerah
yang bersifat istimewa itu ialah: Pertama,
daerah kerjaan (Kooti), baik di Jawa maupun diluar Jawa, daerah-daerah yang
dalam bahasa Belanda dinamakan “Zelfbesturende Lenschappen”. Kedua, daerah-daerah yang mempunyai
susunan asli ialah dorfgemeienschaften, daerah-daerah
kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minang
Kabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapainuli, gampong di
Aceh (Sekretariat Negara; 1995: 271-272). [8]
Pemerintah
kemudian mengeluarkan UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan desa dan
kekuasaan desa dan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang
dipimpin oleh seorang kepala daerah. UU
No. 1/1945 kemudian disempurnakan dengan UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintah Daerah. Pada Pasal 1
ditetapkan bahwa Daerah Republik Indonesia tersusun dalam tiga
tingkatan: Tingkat I Provinsi; Tingkat II Kabupaten (Kota Besar); dan Tingkat
III Desa (Kota Kecil), nagari, marga, dan sebagainya, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948, angka 18
menjelaskan bahwa Daerah Otonom yang terbawah ialah desa,nagari, marga, kota
kecil, dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa diletakkan dalam lingkungan
pemerintah modern, tidak ditarik diluarnya sebagaimana pada zaman Belanda.
Jadi, menurut Undang-Undang ini pemerintah desa adalah satuan pemerintah
terbawah dibawah pemerintah kabupaten (kota besar) dengan hak mengatur rumah
tangganya sendiri yang jelas. Namun, karena sampai dengan akhir tahun 50-an
Negara kita masih sibuk melakukan konsolidasi, dan karena itu penataan desa
sebagaimana diterapkan dalam UU No. 22 Tahun 1948 ini belum bisa dilaksanakan.
Pada 1956
dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
sama dengan UU No. 22/1948, yaitu menetapkan desa sebagai daerah yang berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (otonom). Jadi, UU ini memberikan
status otonomi formal kepada desa, bukan otonomi adat. Dalam UU No. 1/1957,
desa dijadikan Daerah Tingkat III. UU ini pun belum sempat dilaksanakan karena
pada tahun 1959 terjadi perubahan ketatanegaraan sehubungan dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 (kembali kepada UUD 1945). Dengan masih berdasarkan IGO
dan IGOB.[9]
Pada 1965
Pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1965 tetang Desapraja Tingkat III di
Seluruh Wilayah Indonesia. Pada Pasal 1 dijelaskan tentang Desapraja, yaitu Kesatuan masyarakat hukum yang tertentu
batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih
penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
UU No. 19 Tahun
1965 tentang Desapraja ini tidak sempat dilaksanakan. Pemerintah Orde Baru yang
menggantikan Orde Lama memandang UU ini tidak sesuai dengan perkembangan
kenegaraan dan tujuan pembangunan yang sedang dilaksanakn. Untuk itu, melalui
UU No. 6 Tahun 1969, UU tentang Desapraja tidak berlaku. Mulai saat itu, dasar
hukum desa menjadi tidak jelas. IGO dan IGOB sudah dicabut oleh UU No. 19 Tahun
1965, sedangkan UU No. 19 Tahun 1965 dicabut dengan UU No. 6 Tahun 1969. Untuk
mengatasi kekosongan landasan hukum tentang desa, dikeluarkanlah Surat Edaran
Mendagri No. 5/1/1969, tanggal 29 April 1969 tentang Pokok-pokok Pembangunan
Desa. Dalam surat edaran tersebut desa diberi penegertian sebagai berikut: Desa dan daerah setingkat adalah Kesatuan
Masyarakat Hukum (rechtsgemeenschap) baik genealogis maupun territorial yang
secara hirarkis pemerintahannya di bawah kecamatan.
Setetlah
mengalami kevakuman selama 10 tahun, melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintah Desa, desa mulai mendapat dasar aturan yang jelas lagi. UU ini
mengatur pemerintah desa sebagai berikut:
- Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa;
- Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri atas unsur staf dan unsur pelaksana; sekretariat desa sebagai unsur staf dan kepala dusun sebagai unsur pelaksana;
- Secretaris desa memimpin secretariat desa yang terdiri atas kepala-kepala urusan;
- Desa bukanlah daerah otonom sebagaimana daerah otonom dalam penegertian daerah Tingkat I/daerah Tingkat II;
- Desa bukanlah suatu satuan wilayah, desa hanya bagian dari wilayah kecamatan;
- Desa adalah satuan ketatanegaraan yang berkedudukan langsung dibawah kecamatan.
UU No. 5 tahun
1979 ini secara konstitusional mengacu pada UUD 1945 Pasal 18 tentang
pemerintah daerah. Atas dasar Pasal 18 UUD ini dikeluarkanlah UU No. 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kemudian berdasarkan Pasal 88
UU No. 5 Tahun 1974, dibuat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Untuk melaksanakan UU No. 5 Tahun
1979 dikeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 1980 tentang
Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1979. Instruksi ini ditujukan kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam UU No. 5
Tahun 1979 dengan berpedoman pada instruksi Mendagri ini.[10]
Atas dasar
pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalah tidak sesuai dengan
jiwa Undang-Undang Dasar 1945, dan perlunya mengakui serta menghormati hak
asal-usul yang bersifat istimewa, sehingga perlu diganti/dicabut. Pengganti
undang-undang ini dengan dikeluarkanna Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dimana didalamnya ada yang mengatur tentang desa.[11]
Pada tahun 2004,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa di dalam UU No. 32
Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam
pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan UU No. 22 Tahun 1999,
desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam
sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten, yang dinyatakan
secara tegas di dalam Pasal 7 PP No. 72 Tahun 2005 bahwa urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan desa mencakup:
- urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
- urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
- tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
- urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Perubahan
mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun
hubungannya dengan supra desa. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa
terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada
BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan, di dalam UU No. 32 Tahun 2004
ditegaskan bahwa Sekretaris Desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di
dalam UU No. 32 Tahun 2004, Camat diberikan peranan yang tegas dalam kaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Menurut ketentuan dalam Pasal 126
ayat (3) huruf (a) camat memiliki kewenangan untuk membina penyelenggaraan
pemerintahan desa. Yang dimaksud dengan membina pada ketentuan ini adalah dalam
bentuk fasilitasi pembuatan Peraturan Desa dan terwujudnya administrasi tata
pemerintahan desa yang baik. [12]
Dalam
undang-undang ini status desa adalah satuan pemerintahan dibawah
kabupaten/kota. Desa tidak sama statusnya dengan kelurahan. Kelurahan hanyalah
wilayah kerja lurah dibawah camat. Lurah tidak memunyai wewenang untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Berdasarkan
ketentuan undang-undang tersebut, jelaslah bahwa Kepala Desa langsung berada
dibawah pembinaan Bupati/Wali Kota. Dengan demikian kecamatan tidak lagi
sebagai wilayah Administrasi yang membawahi desa-desa melainkan wilayah kerja
camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten. Artinya camat merupakan perangkat
daerah dan kepanjangan tangan dari Bupati, yang wilayah kerjanya adalah
kecamatan.
Dalam Tataran Implementasi, tampaknya kehadiran UU
No. 32 Tahun 2004 tak banyak membawa perubahan. Pembangunan dengan sistem yang
sentralistik, dari atas kebawah, dipandang banyak pihak merupakan sebuah
kegagalan, dan membuat ketergantungan masyarakat, terutama masyarakat desa.
Sumber daya masyarakat di eksploitasi sehingga masyarakat desa seakan di
deskreditkan. Berbagai persoalan muncul seperti ketidak adilan, ketidakmerataan
atau kesenjangan pembangunan yang kurang memberikan ruang eksplorasi terhadap sumber
daya local. Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Kehadiran undang-undang ini membawa angin segar bagi pemerintahan desa, dengan
kebijakan formal ini, desa diposiskan sebagai sumbjek, bukan lagi okjek
pembangunan. Menuju regulasi bangsa yang lebih mandiri dan konsep pembangunan
yang memehatikan kearifan lokal.
Untuk itu
Pembangunan desa sebagaimana UU no 6 tahun 2014 tentang desa tersebut menurut
Tri Nugroho dalam pemaparan materi perkuliahan menjelaskan ada sejumlah
paradigma pembangunan yang terdapat didalam UU tersebut antara lain: Rekognisi
atau pengakuan terhadap hak asal usul desa, Subsidiartitas, Keberagaman bukan
penyeragaman, Kebersamaan, Kegotongroyongan, Kekeluargaan, Musawarah,
demokrasi, kemandirian, Partisipasi, Kesetaraan,Pemberdayaan, dan
Keberlanjutan. Sementara Sutoro Eko dalam Regulasi baru,desa baru ( 2015), menyebutkan bahwa uu No 6 tahun 2014
memiliki dua paradigma yaitu paradigma Rekognisi dan paradigma Subsiadiritas.
Sejumlah
paradigma ini menjadi intisari spirit pembangunan desa dalam UU tersebut.
Diharapkan bahwa UU Desa menjadi seperangkat regulasi yang legal formal yang
mengakui dan memberi kewenangan kepada desa untuk mengatur dan menurus rumah
tangganya berdasarkan hak asal usul desanya serta mengakomodir potensi loklnya
yang sangat multikuluralis. Dengan demikian pembangunan desa diharapkan pula
dapat memberika aura baru pembangunan desa yang lebih partisipatif dan akomodatif
dalam pencapaian kemandirian dan kesejatraan masyarakat ditengah pengalaman
ketidak adilan, ketidakmerataan serta kesenjangan dalam sejarah pembangunan
bangsa khususnya dalam hubungan antara desa dengan pemerintahan supra desa,
antara desa dengn masyarakat desa.
Untuk itu UU desa
No 6 Tahun 2014 adalah sebuah bentuk pengakuan yang melegitimasi posisi dan
kedudukan desa dan komunitasnya berdasarkan hak asal-usulnya sekaligus
mendorong perubahan desa sebagai sebuah identitas kearah kemajuan. Walau demikian
kehadiran UU desa disatu sisi menjadi suatu harapan tetapi disisi lain menjadi
sebuah tantangan yang mesti dibangun dalam sebuah sinergisitas yang kolaboratif
antar elemen masyarakat guna mencapai visi dan misi kemandirian dan
kesejateraan masyarakat.[13]
[1]
Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penerbit Erlangga, Jakarta, Hal. 39-40
[2]
Ibid, Hal. 40
[3] Ibid Hal. 44-45
[4]
Ibid Hal. 45-46
[5]
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/2014/01/sejarah-hukum-pengaturan-pemerintahan.
di akses pada tanggal 20 maret 2016.
[6]
HAW. Widjaja, 2003, Pemerintahan Desa/Marga Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Cetakan 3,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[7]
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.co.id/, Loc.cit.
[8]
Hanif Nurcholis, Op.cit. Hal. 52-53
[9]Hanif
Nurcholis, Op.cit, Hal. 56-57
[10]
Hanif Nurcholis, Op.cit, Hal. 60-62
[11]
HAW. Widjaja, 2003, Op.cit. Hal. 24
[12]
http://galihlike9.blogspot.co.id/2014/03/sejarah-perkembangan-desa-sesuai.html.
diakses pada tanggal 20 maret 2016
[13]
http://hironimuslagadonitukan.blogspot.co.id/2015/05/menuju-pembangunan-desa-mandiri-dalam.html. diakses pada tanggal 21 Maret 2016
wow mantap sejarahnya gan. semoga semakin berkembang ya pemerintah kita
ReplyDelete